Dulu ketika masih kecil, seperti kebanyakan
anak-anak lainnya dikampungku, aku selalu ikut Bapak dan Ibuku bekerja di ladang
atau di sawah, bahkan sampai menamatkan SMP-ku, sepulang sekolah aku langsung
menyusul kedua orangtuaku ke sawah atau ke ladang.
Suatu
ketika aku membantu bapak menanam jagung. Bapak mencangkul tanah, membuat
lubang kira-kira 10 cm, lalu tugasku meletakkan benih jagung didalam lubang tersebut
dan kemudian menutupnya dengan tanah. Bukan 100 m2 tanah yang mau
ditanami jagung, tetapi 1Ha bahkan lebih. Memandang luasnya tanah yang mau
ditanami, hatiku pun gundah…. Kapan aku bermain? Tetapi aku tak punya pilihan
selain menanam jagung, karena dalam hal bekerja, bapakku tak mengenal istilah
demokratis, rumusnya pasti : Mulai à kerjakan sampai selesai,
kalau perlu sampai malam.
Sebagai anak-anak ini menggusarkanku, lalu aku
berfikir, tentulah pekerjaan ini akan cepat selesai bila benih jagung ini cepat
habis, maka setiap lubang aku jatuhkan benih sampai penuh. Bapak kemudian
memeriksa pekerjaanku dan mengatakan bahwa jagung enggak bisa tumbuh baik bila
terlalu sesak dalam satu lubang, cukup menjatuhkan 3-4 butir benih jagung dalam
satu lubang. Eeehh, aku harus mengambil kembali benih-benih yang terlanjur
kujatuhkan kedalam lubang itu dan menyisakan hanya 4 butir jagung untuk setiap
lubang, …. Dan ini memperlambat pekerjaanku saja.
Bapakku
sudah jauh kedepan membuat lubang menggunakan cangkulnya, aku mengikuti dari
belakang, menjatuhkan benih dan menutupnya dengan tanah dengan cara
menggeserkan tanah menggunakan kakiku dan kemudian menginjaknya. Terlalu lama
menunduk membuat tengkukku pegal, sementara dikejauhan aku melihat serombongan
anak-anak lain bermain, aku menangis….aku juga ingin bermain.
Secepat kilat kujatuhkan benih-benih itu 3-4
butir, menggeserkan tanah sekenanya. Kembali bapak memeriksa pekerjaanku, lalu
beliau memanggilku dan mencontohkan bagaimana cara menutup suatu lubang yang
sudah dijatuhi benih jagung dengan sempurna. Ku coba menawar, kenapa harus
ditutup dengan tanah? Bukankah itu memperlambat pekerjaanku saja? Tapi bapak
menjelaskan setidaknya 3 alasan kenapa bibit jagung itu harus ditutup dengan
tanah
1. Ayam, tikus akan mencuri
dan memakan benih-benih itu bila dibiarkan tergeletak saja dipermukaan tanah
2. Benih-benih itu akan
kering kerontang terjemur sinar matahari dan tak mungkin tumbuh lagi
3. Jagung itu harus
menanggung beban tanah yang menimpanya supaya lembab untuk bias bertunas dan
bertumbuh dengan sempurna.
Ketika dewasa, terkenang olehku peristiwa itu.
Filosofi benih jagung itu sama persis dengan peristiwa-peristiwa dalam
kehidupan manusia. Kita tak bisa bertumbuh dengan sempurna, baik secara emosi,
spirit dan sosial apalagi secara fisik bila terlalu berkompetisi memperjuangkan kebutuhan dan keinginan
hidup. Kugaris bawahi kata terlalu
karena kita akan menjadi egois dan tumbuh kerdil bila terlalu berkompetisi,
walau kita juga tak mungkin hidup sendirian. Hidup yang sempurna perlu tatanan
dan tuntunan.
Tanah
yang menutupi benih jagung sama seperti masalah, kepelikan hidup, beban yang
harus dipikul setiap orang. Tanpa beban, tanpa adanya masalah,kita mungkin
tidak merasa penting memiliki cita-cita dan impian, bahkan cita-cita dan impian
dengan begitu mudah akan terkubur bila tidak ada beban yang dipikul, sama
seperti benih jagung yang begitu gampang dimakan ayam bila diletakkan saja
diatas permukaan tanah.
Impian hidup, semangat, motivasi akan menguap
dan mati begitu saja bila manusia tak memikul kepelikan hidup seperti benih
jagung yang kering kerontang terpapar panasnya matahari. Kita membutuhkan
sebuah tantangan hidup untuk tetap membuat kita dilembabkan oleh inspirasi…. Karena
inspirasi adalah nyala api yang membakar semangat dan motivasi.
Ide-ide
baru, tanggung jawab, kemampuan-kemampuan baru, bakat-bakat tersembunyi bahkan
talenta manusia tidak akan berkembang bila kita tidak dibebani dengan tantangan
dan masalah dalam hidup, bagaikan benih jagung yang takkan bertunas bila tidak
menanggung beban tanah yang melembabkannya.
Betapa
rindunya dengan masa-masa itu.
Berkali-kali profesorku di Universitas
dikalahkan oleh bapak dalam hal mengajarkan memuliakan kehidupan. Bahkan
melalui butiran-butiran benih jagung dan tanah yang kotor, bapak begitu sukses
mengajariku untuk survive dalam menghadang masalah yang datang.
Bahwa
masalah bukanlah kiamat yang mengakhiri kehidupan, tetapi masalah adalah ujian
pendewasaan. Kita harus belajar dari setiap masalah dan kita akan naik kelas
kelas sesudahnya. Tidak ada istilah tinggal kelas dalam kehidupan bila kita
mampu mengambil pelajaran positif dalam setiap kepelikan hidup, karena masalah adalah Vital Sign dalam hidup, ada masalah berarti ada kehidupan, yang penting adalah
PAKAILAH TALENTAMU DENGAN KREATIF.
Tak terhitung rasa terima kasihku pada Bapak.
Beban hidupku tak pernah ringan, tapi bapak mengajarkanku memandangnya sebagai
bagian dari ujian menuju suksesku. Betapa lebih mudah seperti jagung, hidup
dengan tatanan dan turut dengan tuntunan, memegang teguh cita-cita dan impian
sehingga takkan tercuri bahkan takkan hilang termakan waktu dan masalah…..
karena diriku adalah pembelajar yang radikal yang selalu belajar dan menjawab
tantangan dalam masalah dalam kehidupanku.