Senin, 30 Januari 2012

BERGURU PADA si JAGUNG


Dulu ketika masih kecil, seperti kebanyakan anak-anak lainnya dikampungku, aku selalu ikut Bapak dan Ibuku bekerja di ladang atau di sawah, bahkan sampai menamatkan SMP-ku, sepulang sekolah aku langsung menyusul kedua orangtuaku ke sawah atau ke ladang.
Suatu ketika aku membantu bapak menanam jagung. Bapak mencangkul tanah, membuat lubang kira-kira 10 cm, lalu tugasku meletakkan benih jagung didalam lubang tersebut dan kemudian menutupnya dengan tanah. Bukan 100 m2 tanah yang mau ditanami jagung, tetapi 1Ha bahkan lebih. Memandang luasnya tanah yang mau ditanami, hatiku pun gundah…. Kapan aku bermain? Tetapi aku tak punya pilihan selain menanam jagung, karena dalam hal bekerja, bapakku tak mengenal istilah demokratis, rumusnya pasti : Mulai à kerjakan sampai selesai, kalau perlu sampai malam.
Sebagai anak-anak ini menggusarkanku, lalu aku berfikir, tentulah pekerjaan ini akan cepat selesai bila benih jagung ini cepat habis, maka setiap lubang aku jatuhkan benih sampai penuh. Bapak kemudian memeriksa pekerjaanku dan mengatakan bahwa jagung enggak bisa tumbuh baik bila terlalu sesak dalam satu lubang, cukup menjatuhkan 3-4 butir benih jagung dalam satu lubang. Eeehh, aku harus mengambil kembali benih-benih yang terlanjur kujatuhkan kedalam lubang itu dan menyisakan hanya 4 butir jagung untuk setiap lubang, …. Dan ini memperlambat pekerjaanku saja.
Bapakku sudah jauh kedepan membuat lubang menggunakan cangkulnya, aku mengikuti dari belakang, menjatuhkan benih dan menutupnya dengan tanah dengan cara menggeserkan tanah menggunakan kakiku dan kemudian menginjaknya. Terlalu lama menunduk membuat tengkukku pegal, sementara dikejauhan aku melihat serombongan anak-anak lain bermain, aku menangis….aku juga ingin bermain.
Secepat kilat kujatuhkan benih-benih itu 3-4 butir, menggeserkan tanah sekenanya. Kembali bapak memeriksa pekerjaanku, lalu beliau memanggilku dan mencontohkan bagaimana cara menutup suatu lubang yang sudah dijatuhi benih jagung dengan sempurna. Ku coba menawar, kenapa harus ditutup dengan tanah? Bukankah itu memperlambat pekerjaanku saja? Tapi bapak menjelaskan setidaknya 3 alasan kenapa bibit jagung itu harus ditutup dengan tanah
1.  Ayam, tikus akan mencuri dan memakan benih-benih itu bila dibiarkan tergeletak saja dipermukaan tanah
2.  Benih-benih itu akan kering kerontang terjemur sinar matahari dan tak mungkin tumbuh lagi
3.  Jagung itu harus menanggung beban tanah yang menimpanya supaya lembab untuk bias bertunas dan bertumbuh dengan sempurna.

Ketika dewasa, terkenang olehku peristiwa itu. Filosofi benih jagung itu sama persis dengan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia. Kita tak bisa bertumbuh dengan sempurna, baik secara emosi, spirit dan sosial apalagi secara fisik bila terlalu berkompetisi memperjuangkan kebutuhan dan keinginan hidup. Kugaris bawahi kata terlalu karena kita akan menjadi egois dan tumbuh kerdil bila terlalu berkompetisi, walau kita juga tak mungkin hidup sendirian. Hidup yang sempurna perlu tatanan dan tuntunan.
Tanah yang menutupi benih jagung sama seperti masalah, kepelikan hidup, beban yang harus dipikul setiap orang. Tanpa beban, tanpa adanya masalah,kita mungkin tidak merasa penting memiliki cita-cita dan impian, bahkan cita-cita dan impian dengan begitu mudah akan terkubur bila tidak ada beban yang dipikul, sama seperti benih jagung yang begitu gampang dimakan ayam bila diletakkan saja diatas permukaan tanah.
Impian hidup, semangat, motivasi akan menguap dan mati begitu saja bila manusia tak memikul kepelikan hidup seperti benih jagung yang kering kerontang terpapar panasnya matahari. Kita membutuhkan sebuah tantangan hidup untuk tetap membuat kita dilembabkan oleh inspirasi…. Karena inspirasi adalah nyala api yang membakar semangat dan motivasi.
Ide-ide baru, tanggung jawab, kemampuan-kemampuan baru, bakat-bakat tersembunyi bahkan talenta manusia tidak akan berkembang bila kita tidak dibebani dengan tantangan dan masalah dalam hidup, bagaikan benih jagung yang takkan bertunas bila tidak menanggung beban tanah yang melembabkannya.

Betapa rindunya dengan masa-masa itu.

Berkali-kali profesorku di Universitas dikalahkan oleh bapak dalam hal mengajarkan memuliakan kehidupan. Bahkan melalui butiran-butiran benih jagung dan tanah yang kotor, bapak begitu sukses mengajariku untuk survive dalam menghadang masalah yang datang.
Bahwa masalah bukanlah kiamat yang mengakhiri kehidupan, tetapi masalah adalah ujian pendewasaan. Kita harus belajar dari setiap masalah dan kita akan naik kelas kelas sesudahnya. Tidak ada istilah tinggal kelas dalam kehidupan bila kita mampu mengambil pelajaran positif dalam setiap kepelikan hidup, karena masalah adalah Vital Sign dalam hidup, ada masalah berarti ada kehidupan, yang penting adalah PAKAILAH TALENTAMU DENGAN KREATIF.
Tak terhitung rasa terima kasihku pada Bapak. Beban hidupku tak pernah ringan, tapi bapak mengajarkanku memandangnya sebagai bagian dari ujian menuju suksesku. Betapa lebih mudah seperti jagung, hidup dengan tatanan dan turut dengan tuntunan, memegang teguh cita-cita dan impian sehingga takkan tercuri bahkan takkan hilang termakan waktu dan masalah….. karena diriku adalah pembelajar yang radikal yang selalu belajar dan menjawab tantangan dalam masalah dalam kehidupanku.

5 komentar:

  1. Ajarin saya menulis seperti ibuq.
    Menginspirasi banget buq.
    Ibuq keren 👍👏

    BalasHapus
  2. Ajarin saya menulis seperti ibuq.
    Menginspirasi banget buq.
    Ibuq keren 👍👏

    BalasHapus
  3. Saya juga masih belajar, yang paati apa yg tersirat dihati, ditulis saja.

    BalasHapus
  4. (y) Salah satu sumber inspirasi yang luar biasa...hehehe

    BalasHapus