Jumat, 03 Februari 2012

Bercerminlah Pada Anak

Seorang ayah menaikkan anaknya yang berumur 3 tahun yang begitu pemberani keatas lemari yang tingginya hampir 2 meter, lalu ayahnya berkata "loncatlah nak... ayah akan menangkapmu". Tapi sampai lama anak tersebut tidak mau loncat, dia kelihatan bingung dan berfikir keras. Alih-alih loncat anaknya malah menangis histeris.
Pada situasi yang lain Seorang ayah menaikkan anaknya yang juga berumur 3 tahun yang kelihatan kalem dan pendiam keatas lemari yang tingginya hampir 2 meter, lalu ayahnya berkata "loncatlah nak... ayah akan menangkapmu". Tanpa pikir panjang anak tersebut langsung loncat ke pangkuan ayahnya yang menunggu dibawah.
Apa yang membedakan kondisi kedua anak tersebut?
Ternyata pada kasus pertama, sang ayah suka sekali berjanji dan melupakan janjinya alias ingkar janji, sehingga ketika ia membujuk anaknya yang pemberani itu untuk meloncat anaknya meragukan apakah ayahnya akan menangkapnya, sementara pada kasus kedua sang anak langsung meloncat tanpa pikir panjang karena ia tidak mengenal ayahnya sebagai orang yang ingkar.

Ingat-ingatlah ketika berjanji. Sekali berjanji tetaplah janji, sampai janji itu tertunaikan. Ia akan menjadi hutang kecuali bila orang yang kita janjikan telah memaafkan atau merelakan janji tersebut tidak kita tunaikan.

Bayangkan saja kalau kita tidak mendapat kepercayaan anak. Saya ngeri membayangkannya karena semakin ia beranjak dewasa kita akan semakin merasa kesepian. Anak akan lebih memilih mempercayai segala sesuatu kepada orang lain. Ketika ada masalah ia pergi ke orang lain. Ketika ia bahagia ia pun lebih memilih orang lain untuk ia bagi kebahagiaan. Alangkah sepinya dunia bila itu terjadi…
Memang sulit mengubah kebiasaan bila kita ternyata dididik dengan cara yang sama oleh orang tua kita. Itu dinamakan pola asuh. Namun, bila kita tidak berubah maka akan menjadi rantai setan yang sulit untuk diputus. Kita, anak-anak kita, cucu cicit kita dan seterusnya akan memainkan pola yang sama. Namun bila kita memutus rantai tersebut dan perlahan-lahan mengubah kebiasaan dan perilaku kita mudah-mudahan kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik di segala bidang: sebagai anak, orang tua, teman, atau hamba Nya.


Seperti yang dikatakan oleh Dorothy Law Nolte, bahwa:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah.
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mengasihi.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi.
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan kasih dalam kehidupan.
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar damai dengan pikiran.

Bunda n Kid.jpg
Oleh karena itu: JANGAN MENGKHAWATIRKAN ANAK-ANAKMU TIDAK MENDENGARKANMU, TETAPI KHAWATIRKANLAH ANAK-ANAKMU SELALU MENGAMATIMU.
Bijaklah, karena anak adalah cerminan orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar